Hey, kau tahu sahabat terbaik dari kesedihan? Menurutku, jawaban paling tepat ialah kesendirian. Makanya aku selalu menghindarinya dan mengusirnya dengan kebisingan dunia agar keduanya tak pernah bersahabat baik, untuk saat ini. Baru satu setengah hari dia pergi meninggalkan aku dan kami sekeluarga untuk selamanya, air mata ini seakan tak pernah berhenti menganak sungai. Apalagi ketika kesendirian melanda, kesedihan akan kenyataan telah ditinggal olehnya selalu semakin menjadi-jadi. Seperti yang kualami tadi di dalam bis, ketika tidak sengaja kulihat dua foto cantiknya di Corby-ku. Seperti ada yang mengomandoi, air mataku menderas sepanjang Blok M-Kreo.
***
Ini cerita tentang aku dan dia. Aku melakoni diri sebagai Tante, dan dia Keponakannya. Usia kami hanya terpaut bulan. Dia delapan bulan lebih dulu mengenal gemerlap dunia daripada aku. Seperti yang dituturkan Mamak, kami berdua sempat menjadi saudara sepersusuan walau hanya satu bulan lebih. Mungkin ini yang membuat hubungan kami tidak seperti hubungan antara tante dan keponakan pada umumnya. Justru hubungan kami lebih seperti sahabat, bukan-bukan… mungkin tepatnya adik dan kakak.
Sejak kecil, secara fisik kami pun tak jauh beda. TInggi rata-rata (seukuran Frodo Bagins mungkin), rambut lebih sering dipotong pendek seleher (aku menyebutnya potongan helm), baju-baju kami kebanyakan berupa kaos-celana. Baju lebaran kami sejenis bentuknya hanya berbeda warna. Ketika sedang inn model baju bersablon gambar caem aktor China di bagian dada, kami pun memakainya di waktu yang sama. Pun ketika sedang inn kaos bergambar Power Rangers, celana jins seatas lutut, baju seksi Si Manis Jembatan Ancol, dan topi kupluk warna-warni, kami selalu memakainya di waktu yang bersamaan.
Entah sejak usia berapa, kami saling memberi julukan saking seringnya bermain dan berkompetisi bersama. Ia memanggilku dengan sebutan Tufa alias Tukang Pamer, karena kebiasaanku memamerkan semua barang-barang yang kupunya. Sedangkan ia, kupanggil dengan sebutan Irian karena sifat irinya yang tak kepalang tanggung. Namun setelah beranjak besar, aku memanggilnya dengan sebutan kesayangan Pity, dan dia sperti keponakan lainnya, memanggilku dengan Cinu’ (bahasa Betawi singkat dari Cing Nur).
Masa-masa di bangku sekolah dasar, tepatnya ketika beberapa tahun aku diungsikan Mamak di rumah Kakak (Mamanya), kuingat menjadi masa-masa awal kedekatan kami. Bersama dengan satu teman dekat, satu kakak dan satu adiknya, kami bermain congklak, karet, bekel, sepeda, roller blade, dan mandi hujan bersama. Satu hal yang paling kuingat darinya, diantara kami, dialah yang paling lama mampu mengendarai sepeda roda dua. Ketika aku telah mahir bersepeda roda dua sejak kelas dua SD, di kelas lima dia masih tertatih-tatih belajar mengendarainya.
Pernah juga waktu dia kelas lima dan aku kelas empat, aku yang saat itu sekolah di madrasah, mengikuti kegiatan pesantren kilat di sekolahnya. Di kegiatan itu, ia kesemsem dengan salah satu peserta laki-laki bernama Muhammad Yuri yang beberapa tahun setelah itu aku temukan lagi jejaknya di SMA-ku dan di kampus dalam kampusku (PNJ). Ketika dia menginap di rumahku, aku pun menceritakan tiga kali pertemuanku dengan Yuri yang telah tumbuh menjadi aktivis rohis dan aktivis BEM kampus. Kondisinya pun berbalik, kini aku yang gantian kesemsem dengan Yuri. Sampai-sampai berani aku katakan padanya,
“Mudah-mudahan dia jodoh Cinu’!” katakumenggebu-gebu. Dia pun meledeki aku habis-habisan saking ngarep berlebihan malam itu.
***
“Keretakan” hubungan kami terjadi ketika dia menginjak bangku SMP. Di sekolah barunya, ia mulai menemukan teman-teman yang kemudian mereka mendirikan sebuah genk cukup tersohor di sana. Dia mulai membandel. Saking cinta mati dengan warna merah, dia pun dengan bangga menghiasi rapor-nya dengan angka merah. “Yah, orang udah cinta mati sama warna merah, mau diapain lagi?” candanya.
Kemudian, hubungan kami diperparah dengan terjadinya kebakaran yang menimpa dua rumahnya. Ketika itu dia sudah duduk di bangku SMA, sedangkan aku masih di bangku SMP kelas tiga. Aku dipulangkan ke rumah Mamak di Tangerang, dia pun semakin asik dengan dunia remajanya.
Sempat beberapa lama (kalau nggak salah sampai kuliahku di semester awal), kami hanya dipertemukan oleh momen buka puasa bersama keluarga dan hari raya lebaran. Aku benar-benar sudah tidak nyambung dengan dunia pergaulannya, mungkin dia pun juga begitu terhadapku.
Tapi untungnya, semakin mendekati masa akhir kuliahku, dia semakin rajin menyambangi rumahku walaupun seringnya baru datang menjelang malam dan akan tidur sampai waktu dhuha mau habis. Malamnya hingga larut atau siangnya sambil makan bersama, biasanya kami curhat-curhatan dengan berbagai macam tema sampai sama-sama puas (oiya, diantara saudara-saudaranya, dia ini yang paling gampang makannya. Nggak pilih-pilih. Makanya dia suka banget kalau aku masak ikan peda’ dicampur jagung dan pete, juga nasi nyanyah buat sarapan ^^).
Di sini lakonnya tentu akulah pendengar sejati, dan dialah pembicara sejati. Dia akan menceritakan banyak tentang pacarnya, teman-temannya yang tak pernah kuketahui bentuk dan rupanya, pergaulannya, pakaian dan kosmetik yang baru dibelinya, dllsb. Sedangkan aku hanya mengangguk-angguk memberikan perhatian penuh pada cerita-ceritanya dan sesekali memberikan opini jika dimintanya. Yang penting tekadku ingin membangun kembali persahabatan kami berdua seperti dulu!
***
Akhir 2010 sepertinya menjadi tahun segar perubahan dalam dirinya. Perlahan, ia mulai mengganti pakaian-pakaiannya dengan yang lebih tertutup. Bahkan, ia sudah mau mengenakan jilbab sebagai pakaian kuliahnya. Yah, walaupun hidayah itu datang bukan melalaui lisan dan tanganku, tapi aku senang ketika dia menceritakan dengan bangga perihal pakaian barunya (walaupun hanya dikenakan ketika pergi ke kampus).
Hingga lama kelamaan, ketika perlahan tubuhnya mulai melemah oleh berbagai penyakit yang bertubi-tubi menghampirinya, ia pun bertekad terus mengenakan jilbab untuk di luar rumah. Ia juga semakin rajin mengikuti pengajian dengan salah seorang Habib di sekitar Bogor bersama Mamanya. Aku salut dengan perubahannya. Kemampuan bersholawatnya, semangat mengamalkan ilmu yang didapat dari pengajiannya, semangat untuk membaca dan mengkhatamkan Qurannya (selama sakit, ia telah berhasil mengkhatamkan Quran satu kali), seolah menyentil diriku yang telah lebih dulu memasuki dunia ngaji mengaji namun masih suka malas-malasan dan kurang serius.
Untuk menghiburnya, aku pun berjanji membelikan sebuah jilbab Paris manik-manik berwarna hitam pilihannya. Aku juga memberi sebuah manset orange baru kesayanganku ketika satu kali dia datang dengan gomis putih khas para jamaah wanita pengajian Habib-habib. Ia menyukai dan membutuhkannya, katanya. Dan aku, semakin suka dengan pakaian barunya!
***
Malam -1 Menjelang 28 Mei 2011
Hari itu hari gajianku. Aku bertekad mengunjunginya yang baru saja keluar dari rumah sakit untuk ke-tiga kalinya dalam beberapa bulan ini. Dia sangat senang dengan kehadiranku dan Roti Papabunz kesukaannya yang kubawakan. Walau hanya satu setengah jam, seperti biasa kalau sedang bersama, kami pun saling berbagi cerita. Bedanya, sambil kuelus-elus tangan dan kakinya yang kena pengaruh obat-obatan, kala itu kami lebih banyak bercerita tentang kondisi penyakitnya yang kian parah. Ah, aku tak tega menceritakan kepada kalian bagaimana kondisi badannya yang semakin habis!
Tak berapa lama, adiknya datang dengan membawa Harvest mini bertuliskan nama dan usianya. AKu ingat, beberapa jam lagi dia akan memasuki usia ke-24! Tapi dia sempat marah-marah karena kesalahan angka pada kue ulang tahun itu. Setelah berhasil mengeruk angka 23 di atas kue ulang tahunnya, dia pun memintaku menginap di rumah Papahnya untuk menemaninya merayakan ulang tahun. Dan kau tahu jawabanku?
Hingga tulisan ini dibuat, air mataku terus meleleh jika mengingat-ingat PENOLAKAN yang kuutarakan padanya. Kuakatakan kalau aku harus menemani Mamak yang memang sudah bed rest karena stroke di rumah. Padahal, dari hati yang paling dalam, aku tak mau meninggalkan dua pengajian Sabtuku! Sebagai gantinya, dia menahanku hingga pukul sepuluh malam di kamarnya untuk menemaninya mengobrol.
***
27 Rajab 1432 Hijriah
Sore itu aku berencana menghadiri pesta sunatan sepupu dari Babeh. Namun, sore itu juga kakak menelpon untuk menjenguk anaknya yang kembali harus masuk ke rumah sakit untuk ke-empat kalinya.
Lagi-lagi aku menyesal tak menjenguknya dari kemarin-kemarin dengan alasan belum gajian. Sedih, kondisinya telah berbeda jauh dari sebulan lalu ketika aku menjenguk di rumah Papanya. Ia sedang tertidur pulas saat aku sampai, namun setelah kutunaikan sholat Maghrib di musholla, dia pun bangun dan menangis sedih melihat kedatanganku. Bibirnya sudah pelo. Kata-katanya sudah tidak lagi terdengar dengan jelas. Ketika aku membacakan Yasin untuknya, dia pun menggenggam tanganku dan menangis lagi meminta doa yang terbaik padaku. Hatiku sedikit tak karuan saat harus berpisah pulang dengannya.
***
Senin, 4 Juli 2011
Sore ini, selepas kerja, kuniatkan untuk menjenguknya kembali di RSCM. Namun dalam perjalanan menuju kantor, kakak menelponku untuk datang pagi itu juga ke rumah sakit. Aku pun sms izin datang telat ke kantor dan langsung meluncur ke rumah sakit.
Di gerbang RSCM, aku bertemu dengan keponakan yang lain (adiknya Pity). Matanya merah sembab karena menangis sepanjang perjalanan.
Sesampainya di kamar, air mata kami berdua tak terbendung lagi melihat kondisinya yang telah sangat berbada dari terakhir aku menjenguknya. Nafasnya sudah dengan alat bantuan. Dia sudah koma. Lagi-lagi aku menyesal karena weekend kemarin tidak menyempatkan diri untuk menjenguknya. Aku hanya mendengar dari kakak kalau kondisinya semakin memburuk.
Tak kuasa, kuambil air wudhu dan segera membacakan surat Yasin untuknya. Kuminta pada Allah untuk tidak mencabut nyawanya sebelum kubacakan surat Yasin sebanyak tiga kali. Dan permintaanku terwujud! Ke-empat kalinya, seorang dokter ganteng datang untuk memindahkannya ke ruang ICU. Tak kupedulikan, kubaca terus Yasin di sisinya walaupun dengan sesenggukan.
Ketika dokter memberikan lagi semacam alat pernafasan bantuan tambahan, tak sampai lima menit alat itu “dimainkan”, dokter menyerah. “Maaf, ia sudah nggak bisa ditolong,” katanya. Seketika tangis kami semua yang menjenguknya, pecah! Tak kuasa lagi kulanjutkan baca Yasinku untuk yang ke-lima kalinya. Untung kakak mengingatkan kami untuk tidak menangisinya. “Terus bacain Yasin. Jangan nangis!”, kulanjutkan lagi bacaanku sambil memegang tangannya yang mulai mendingin.
Lelet, butuh waktu tiga setengah jam lebih sedikit untuk menuju proses memandikan jenazah. Selama itu pula aku tak putus-putus membacakan Yasin untuknya. Kuharap, bacaanku yang berulang-ulang dapat menebus ketidak pedulianku selama ini padanya.
Setengah tiga tepat, aku mengantarkan jenazahnya yang dibawa ke ruang kamar mandi mayat. Kakak memintaku untuk terus mendampinginya dengan bacaan surat Yasin dan Al-Mulk. Air mata tak mau berhenti keluar beriringan dengan bacaan ayat-ayat Quran sepanjang proses dimandikan dan dikafani. Mungkin sudah 20 kali aku mengulang-ngulang bacaan Yasin di sampingnya.
***
5.15 WIB, Pemakaman Jeruk Purut
Dari rumah sakit, jenazah dibawa sebentar dengan mobil ambulance ke rumah kakak. Untuk menunjukkan kepada keluarga dan teman-temannya yang sudah menunggu lama di rumah. Hanya lima menit, kemudian langsung dibawa lagi untuk disholatkan dan dimakamkan di pemakaman Jeruk Purut. Dengan diboncengi motor oleh kakak, aku pergi menuju pemakaman mengiringinya ke tempat peristirahatan terakhir.
Sesampainya di sana, aku mengambil posisi paling depan di samping lubang bagian kaki jenazah. Tak henti-hentinya pipi ini banjir air mata sepanjang prosesi pemakaman. Penghiburku saat itu cuma satu, yakni banyaknya teman Pity yang mengantarnya sampai ke pemakaman. Semua menangis sedih dengan kepergiannya.
Terakhir, ketika jenazah sudah tertutup sempurna oleh tanah, sebagai penebus ketidakpadulianku padanya selama ini, kubaca lagi berulang-ulang surat Al-Mulk untuknya. Kuharap, Allah berkenan melimpahkan kasih sayang-Nya pada keponakanku, meringankan siksa kuburnya dan menerangi kuburnya dengan sebaik-baik penerangan. Aamiin.
Tidak akan kutemukan lagi keponakan yang keibuan seperti dia, tingkah manjanya, banyolan-banyolannya, curhat-curhat panjangnya, foto-foto dengan ekspresi imutnya, dan ucapan selamat ulang tahun yang hampir tiap tahun ia berikan kepadaku dengan tepat waktu. Selamat jalan, Keponakanku! Semua kebaikanku padamu tak akan pernah satu pun yang kan kulupa. Baik-baik di alam sana, ya Piiit…
Selasa menjelang Rabu, 5-6 Juli 2011
Mengenang keponakan sepersusuan, Cut Fitria Damayanti
Ditulis dengan cucuran air mata dari awal sampai akhir
Innalillahi wa inna ilaihi roji'un. Allahummaghfirlaha warhamha wa 'afiha wa' fu'anha.
BalasHapusSakit apa, keponakannya Nur? Apakah lupus?
aamiin. terima kasih untaian panjang doanya, Mbak :)
BalasHapuskanker darah dll, Mbak.