Kamis, 14 Juli 2011

BBB (Bukan B*******i Biasa)

BBB… apaan tuh?
Bukan Bintang Biasa, kah? Bukan!
Atau jangan-jangan... Bukan Blackberry biasa? Ah, bukan juga!
Ini lebih dari sekedar Rafi Ahmad dkk atau Blacekberry, tapi ini tentang Bumenteri yang BBB a.k.a. Bukan Bumenteri Biasa! Cerita gue tentang pengalaman pertama bertandang ke rumah salah satu ibu pejabat RI, beberapa hari yang lalu. Hheee.

***
Baju merk d’sava orange polos dipadu padan dengan jilbab paris (orange juga) sedikit sulam benang di bagian belakang dan rok coklat bergaris, sebenarnya nggak jelek-jelek amat. Walaupun tuh baju agak lecek lantaran susah banget disetrikanya, lumayan pantes deh buat “main-main” dalam sebuah acara santunan di rumah dinas pejabat tinggi Negara di bilangan Gatsu, Jakarta. Langsung disebut deh nama pejabatnya, biar ga ada dusta diantara kita. *Hheee, apa sih?* Tifatul Sembiring,  Menkominfo.

FYI: ini adalah acara santunan yang diadakan oleh Bumenteri, Hijabers Community, dan butik Mosaict, dalam rangka tarhib ramadhan.

Namanya juga acara di kediaman pejabat, yang ada di benak gue sejak mendapat tugas untuk “main-main” ke rumah beliau adalah: acara diadakan dalam sebuah tenda besar, banyak bangku berjejer rapi untuk para hadirin, acara resmi dengan rangkaian protokoler yang ribetnya alaihimgambreng, dan diliput berbagai stasiun teve juga media-media papan atas semisal majalah Ummi dan majalah online Annida. *suit-suit*. Makanya gue pede mampus mengenakan pakaian yang tadi udah gue sebutin bagaimana rupanya. Pokoknya niat gue, nanti gue bakal ambil posisi paling belakang biar bapak dan ibu pejabat ga ada yang ngeh sama penampilan gue.

Tapi eh tapi, ternyata oh ternyata, kenyataan justru berbeda jauuuh banget dari bayangan! Nggak ada tenda, bangku-bangku, mobil-mobil media, apalagi petugas protokoler. Malahan gue disambut dengan satu bis Hiba Utama tanpa AC berukuran sedang dan sandal-sendal butut ukuran anak-anak yang berjejer berantakan di depan teras rumah.  Dari sandal-sendal ini gue berhipotesis kalau acara diadakan di sebuah aula besar di dalam rumah.
Namun nyatanya, lagi-lagi hipotesis gue meleset jauh! Dalam sebuah ruangan nggak gede-gede amat dengan cat putih elegan dan dialasi karpet coklat bermotif, acara santunan diadakan. Baik tuan rumah, empunya hajat, maupun mereka yang diundang dalam santunan ini duduk sejajar alias lesehan!
Setelah memperkenalkan diri, oleh salah satu panitia, gue pun dipersilakan duduk di deretan Bumenteri  Menkominfo, Sri Rahayu Sembiring. Persis di sampingnya! Cuma berjarak 10 sentimeter. Perasaan gue waktu itu, awalnya agak mokal. Saltum banget! Duduk di samping ibu pejabat, pakaian lecek begini! Mana dua wanita yang duduk deket Bumenteri pakaiannya rapi-rapi jali, lagi! Untung pakaian beliau juga lumayan sederhana—Cuma gamis dan bergo abu-abu terang yang nyantai punya. Alhamdulillah, sedikit luntur dah mokal gue.

Nah, ini dia nih inti ceritanya… Gue bakal cerita bagaimana pertemuan gue selama kurang lebih satu jam dengan Bumenteri yang akhirnya gue berani kasih beliau  julukan BBB!

Duduk di Samping BBB

Setelah bersalaman dan memperkenalkan diri, gue mengambil posisi agak mundur sedikit dari posisi duduk beliau. Tepatnya di belakang karpet yang udah disediakan. Alasan gue waktu itu bukan karena malu gegara saltum atau menghormati beliau berlebihan atau ngerasa ga pantes duduk bersamping-sampingan dengan beliau, bukan… Ini lebih kepada cuaca Jakarta yang cukup menyengat siang itu hingga mempengaruhi kadar keringat yang gue hasilkan. Apalagi untuk menuju ke rumah beliau, gue harus olah kaki mengitari separo gedung Plaza Semanggi (Pelangi) untuk transit dari halte busway Benhil 1 ke Benhil 2 dan berjalan lagi selama 15 menit lebih dari halte LIPI Gatsu ke rumah beliau. Bener-bener pol mompa keringat gue! *Hosh-hosh*

Maksud hati mau kipas-kipasan sebentar mendinginkan badan. Tarraaa… guess what? Beliau malah negur gue! “Kok duduk di luar karpet? Ntar masuk angin, lho… Sini-sini, naik ke atas karpet sini,” sapanya ramah.

Dalam hati, gue terharu sangat mendengar ucapannya barusan.  Ini Ibu tau aja dah, sejak SMP, musuh nomor wahid gue emang angin! Si Mamak mengamini kalau nih badan sensitif banget sama angin. Jangankan tidur-tiduran ayam di atas lantai langsung, duduk-duduk ga nyampe dua jaman aja di atas lantai tak beralas, kayaknya perut udah full sama angin gimanaaa gituh. Nggak kukuuuw, deh!

Diskusi Ringan Dengan BBB

Nggak seberapa lama gue nempelin badan di atas karpet, Bumenteri diminta memberi ceramah untuk anak-anak yang datang jauh-jauh dari TPA Al-Furqan. Katanya sih letak TPA itu di Bekasi paling ujung yang butuh waktu 6 jam untuk sampai ke rumah si Ibu. Beliau pun maju ke hadapan anak-anak undangan dengan posisi sama—duduk lesehan dengan yang lain, maksudnya.

Di depan anak-anak, ia menolak memberi ceramah dan meminta panitia untuk berdiskusi santai saja dengan anak-anak. Kalimat pertama yang meluncur dari bibirnya ga bakal gue lupain. Beliau mengoreksi salah satu statement MC yang mengatakan kalau rumah itu adalah rumah Bumenteri.

“Sebelumnya, saya mau meralat perkataan MC. Ini bukan rumah saya ya, Adek-adek. Ini adalah rumah dinas, rumah negara. Rumah siapa? Nega…?”

“raaa…,” anak-anak undangan melanjutkan beriringan.

“Pinter!” lanjutnya lagi.

Hi, sekali lagi gue dibuat terkejut-kejut oleh “ulah” beliau. Ini ibu, rendah hati amat. Segala rumah aja dipermasalahin. Padahal mah, gue haqqul yakin para hadirin ga ada yang ngeh dengan ucapaan si MC tadi.

Lanjut lagi, Bumenteri pun memulai diskusi santai itu. Bener-bener santai, karena isi pembicaraan beliau hanya menyambung-nyambung apa yang bisa disambung (tali, kaleee!). Misal, dia memulai dengan memperkenalkan sahabat Rasul yang bernama Zubair. Pemilihan Zubair sebagai tema pertama juga beralasan, yakni sama dengan nama salah satu anak-anak undangan yang saat gue datang dia sedang membacakan sebuah hadits beserta artinya (tanpa teks atau contekan, coba!).

Dari situ, pembicaraan beliau beralih lagi ke pengalamannya bersua dengan salah satu anak korban tsunami Aceh. Ini juga beralasan, karena ada salah satu ibu-ibu yang menyebut kata tsunami selama dia bicara. Diceritakanlah bagaimana nasib tuh anak yang kini sukses menjuarai olimpiade sains tingkat internasional di Harvard University. Intinya, si Ibu mau memberikan motivasi akan pentingnya semangat belajar dan memiliki cita-cita tinggi kepada audiens-nya.

Beberapa anak diminta maju dan menyebutkan cita-cita mereka yang yah... rata-rata cuma mau jadi guru setelah gedenya. Bukan gue ngeremehin profesi guru, lho. Tapi kok, ga ada yang berani bermimpi lebih besar lagi selain guru, ya? Bahkan ada salah satu anak berbadan bongsor yang ngakunya udah SMP, tapi masih belum kebayang apa cita-citanya kelak. Untungnya, ada sih, satu anak yang lagi-lagi si Zubair. Cuma dia yang bercita-cita lumayan tinggi. Mau jadi professor di bidang mesin, katanya.

Awalnya, Bumenteri mengomentari, “kok, pada kompakan mau jadi guru, ya?” Tapi setelah mendengar jawaban Zubair, beliau pun senang dibuatnya. Dia bilang,

“Wah, hebat. Nanti Profesor Zubair tolong buatin ya, mesin pesawat yang bisa mengelilingi dunia tanpa perlu transit untuk ngisi bahan bakar. Biar hemat bahan bakar, gituh. Nah, nanti kita jalan-jalan deh ke Harvard. Tau ga di mana Harvard? Hheee, meneketehe…,” begitu deh kurang lebih caranya beliau berbicara dengan anak-anak undangan. Sumpah, ngerakyat buanget bahasanya!

Terakhir, ketika beliau mau bilang kalau tujuan tertinggi seorang muslim adalah ridho Allah dan surga-Nya, muncul satu kejadian yang ga diundang.

“Jadi, kita harus berprestasi ya, Adek-adek. Harus berani untuk punya cita-cita tinggi yang Allah suka. Karena tujuan hidup kita kan buat mendapat ridho Allah dan surga-Nya, ya… Oiya, surga itu adanya di mana, deh?” tanyanya.

“Di bawah telapak kaki Ibu…,” serentak mereka memberikan jawaban yang lumayan bikin ngakak Bumenteri, gue dan dua wanita cantik yang duduk sejejer dengan gue. Ini anak-anak polos banget, ye! Hheee.

***
Acara pun diakhiri dengan pembagian santunan berupa peralatan sekolah dan sembako. Setelah Bumenteri duduk ke posisinya semula, beliau pun memanggil sekretarisnya, Mba Shinta, yang duduk dekat gue juga. Ia pun mengajak Mba Shinta dan gue mendiskusikan kondisi anak-anak undangan.

“Yang paling penting buat mereka sekarang adalah pembangunan mentalnya. Mental yang berkarakter,” ia memulai pembicaraan.

Berhubung gue diajak ikutan berdiskusi. Gue pun gatel untuk ga menimpali, “Bener banget, Bu. Sedih banget deh, masa udah segede itu masih ada yang belum punya cita-cita, ya?” ihiy, kapan lagi bincang bareng Bumenteri.

“Iya, Bu,” Mba Shinta yang emang lumayan sibuk ngontrol jalannya acara cuma menanggapi sedikit sambil ngangguk-nggangguk.

***
Setelah ngobrol-ngobrol dengan panitia, gue pun izin pamit ke Bumenteri. Fyuuuh, kaget lagi gue pas salaman dengan doi--kali ini gue udah lumayan pede salam pake cipika-cipiki. Masa dia bilang begini, “Terima kasih banyak ya, Mbak Nur, atas kunjungannya. Mudah-mudahan kita bisa ketemu lagi,” katanya dengan senyum hangat sambil menjabat terus tangan gue.
Hiyaaa, tersanjung jung jung dibilang gitu sama Bumenteri! Masa dia terima kasih sama gue? Gue kan Cuma ngejalanin tugas dari kantor buat “main-main” ke rumah beliau! Huwiii, keren abis dah nih, Bumenteri.

Eh, atau semua ibu pejabat ramah-ramah kayak beliau, ya? Guenya aja kali yang norak bin geer baru pertama kali ketemu dengan ibu pejabat? Ah, nggak peduli… kesimpulan gue, ini ibu emang BBB banget, dah! Ga sia-sia perjalanan panjang dan melelahkan gue menyambangi rumah beliau sambil berpanas-panas ria. Hhaaa, lebay!


 


 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar