Minggu, 31 Juli 2011
Jumat, 29 Juli 2011
Kamis, 28 Juli 2011
Rabu, 27 Juli 2011
Selasa, 26 Juli 2011
Sabtu, 23 Juli 2011
Tentang Kita
Mentemen… wallahi, gue nyesel banget mengenal dan berteman dengan kalian selama hampir 1 ½ tahun belakangan! Sekali lagi, tiga semester yang kita lewati bersama di LTQ, bikin gue nyeseeel banget sampe ke ubun-ubun!
Kenapa…? Kenapa…? Kenapa … nggak dari dulu-dulu banget sih kita kenalan dan berteman?? *Hheee, adakah yang tertipu?
Tiga minggu kemarin gue nggak menyertai kalian dalam majelis Quran kita… beuh, ini baru penyesalan yang sesungguhnya. Gimana enggak, hari ini adalah hari terakhir pertemuan kita. Yah, walaupun kita hanya akan terpisahkan sekitar 1 ½ bulan dan akan mengawali lagi pertemuan kita dalam daurah Quran di bibir pantai Pulau Pramuka, tetap aja rasanya waktu pasti kan berjalan bak Metro Mini 72 yang konon jalannya lelet banget (ini kesaksian teman-teman SMA gue, lho!). Bakal rindu setengah hidup pastinya. Hiks…
Sebelum gue berkenalan dengan “Badminton Day” tiap hari Jumat, hari Sabtu pasti menjadi hari yang paling gue nanti-nantikan dalam hidup dan paling gue sedihkan ketika Sabtu malam telah beranjak. Kalian pasti tahu kenapa. Yep, karena di hari (siang) itu kita akan berkumpul bersama mendekatkan diri kepada Quran, saling menyemangati untuk menambah terus kedekatan dengan Quran, menanti-nanti dengan setia taushiah tentang Quran dari Ustadzah tercinta di sela-sela giliran setoran dan doa beliau untuk kita semua di akhir pertemuan. Allahummarhamnaa bil Qur’an, dst… J.
Walaupun kini hari sakral pertemuan kita telah tergeserkan oleh “Badminton Day”, pertemuan kita tetap selalu gue nantikan ketika hari Jumat telah usai. Nggak peduli dengan macetnya ibukota yang bikin perut mules nggak ketulungan, nggak peduli 2 ½ jam perjalanan yang harus gue tempuh demi sampai ke tempat pertemuan kita… satu hal yang pasti: duduk bersama dengan kalian, bener-bener mampu menampakaan surga yang seolah-oleh di depan mata. Indah. Jelas terlihat. Nggak mau pulang rasanya kalau sudah berdekat-dekatan dengan kalian. Sumpe, deeeh!
Untungnya, ketika bayangan kesedihan--tidak akan melihat paras semangat kalian selama beberapa minggu ke depan--menghampiri, mie ayam depan masjid Bangka menjadi pelipur lara hati ini. Ya, kita menyantap mie ayam dan jus mangga bersama dan bercerita banyak hal hampir satu jam sebelum akhirnya berpisah.
Janji kita yang kan selalu kunanti-nanti ialah: kita akan buka puasa dan itikaf bareng satu hari di ramadhan tahun ini (kalau renovasi masjid sudah selesai), kita akan saling menyemangati walau hanya melalui sms dan telepon, dan kita akan mengadakan daurah Quran satu hari satu malam di Pulau Pramuka bada lebaran ini bersama Ustadzah tercinta.
Wah,,, luph u all sangat, deh! Ya Allah, ridhoi perpisahan sementara dan rencana pertemuan kami… Aamiin.
Jumat, 22 Juli 2011
Kamis, 21 Juli 2011
Kamera Ria (#Serial Keluarga)
Mentemen, ada yang udah pernah dengar judul tulisan gue? Apa… belum pernah dengar? Haduhaduh… ga gahol banget, sih, pada-pada! Hheee, tolong jangan diambil hati, iaaa. Karena sebenarnya gue juga baru beberapa bulan ini tahu apa itu Kamera Ria. He, timpuk!Kalau ga salah baru tiga bulan, deh. Waktu itu dikasih tahu sama Babeh, sepulang dari kantor pas lagi makan malam sambil menemani doi nonton teve.
Eniwey, lo pada mau tahu ga apa itu Kamera Ria? Yang ga mau tahu, yoweees ora opo-opo. Nah, buat pembaca setia tulisan-tulisan gue yang penasaran gila, makanan jenis apaan sih, atau sebagus apa sih resolusi Kamera Ria (KR) itu? Siiip, gue bakal memaparkannya dengan sangat gamblang dan senang hati, khusus buat kalian!
Seperti udah gue tulis di awal, kalau tulisan ini merupakan lanjutan dari #Serial Keluarga yang menurut gue cukup unik untuk dibahas. Dan kali ini, yang akan kita bahas adalah kegemaran Babeh dalam menonton salah satu acara lawas di stasiun teve yang juga udah lawas. Yak, KR alias Kamera Ria! Sebuah acara panggung hiburan yang dibuat dari dan untuk anggota TNI, baik AD, AU, maupun AL. Jadi, jangan kaget dan jangan marah kalau lo lagi channel walking, terus lihat cewek-cowok berseragam TNI pada bergoyang ria.. So pasti lo lagi nyangkut di acara KR ini.
Menurut Babeh, acara yang ditayangkan tiap jam 10 malam, hari Selasa pekan ke-tiga tiap bulannya, ini sudah ada sejak Soekarno masih memerintah. Stasiun yang menampilkan pun masih setia dari dulu hingga kini, TVRI (stasiun teve ke-tiga favoritnya Babeh setelah MetroTV dan TV1).
Acara berdurasi 60 menit aka 1 jam, ini juga lumayan unik. Biar kata cuma 1 jam dipotong beberapa kali iklan, konten acaranya lumayan bervariasi dan menghibur (menurut Babeh yang emang penggemar setia KR). Dipandu oleh dua wanita cantik, acara diawali dengan penampilan band (cukup) teratas Indonesia semacam Wali; Letto; Kafein; dan Hijau Daun. Ga tau kalau ada yang lebih teratas dari yang gue sebut barusan. Karena beberapa kali gue tonton, yang membuka ya band-band sekelas itu. Then, acara dilanjutkan dengan kuiz untuk para hadirin di rumah. Hadiahnya lumayan lho, untuk tiap episode disediakan BB Tourch dan Honda Scoopy buat yang bisa menjawab pertanyaan! Wih-wih.. jaman sekarang siapa sih yang ga mupeng dengan dua barang itu?
Lanjut, di tengah acara, ditampilkan pula sedikit lawakan dari Tarsan dkk yang ga begitu gue kenal. Oiya, biasanya yang ngelawak juga ngambil tema seputar TNI dan berseragam TNI pula, lho.. Mungkin ini yang membedakan lawakan KR dengan OVJ dan lawakan lain. Ga selucu Sule Prikitiew dan Tora Sudiro, sih.. tapi, lagi-lagi buat orang-orang terdahulu (bahasa paling halus dari kata Jadul) semacem Babeh gue, lumayan menghibur lah!
Nah, sebagai penutup, biasanya ditampilkan penyanyi yang (menurut gue) gak terkenal-terkanal amat. Selama ini sih gue udah ngelihat Dorce, Uut Permatasari, dan Daus OB yang mengisi panggung musik di 3/4 acara hingga selesai. Tiap di bagian ini, gue dibikin bingung deh... Padahal diakhiri dengan penampilan Penyanyi yang kurang terkenal gitu ya, tapi kok kenapa partisipasi dan goyangan para hadirin di studio (anggota TNI) makin mantab, ya? *geleng-geleng*
Pun dengan Babeh, yang walaupun acara ini cuma tayang satu bulan sekali, doi ga pernah lupa deh nonton KR. Kalau hari itu doi lagi main ke rumah salah satu temannya yang dekat rumah, biasanya doi langsung pulang tuh! Ga peduli gue baru banget duduk nonton teve sambil makan, doi bakal minta ganti channel ke TVRI dengan dalih yang sama, “Ini acara kan sebulan sekali. Sinetron tiap hari juga ada. Ganti,”.
Kalau udah gitu, biasanya gue ngalah lah lah dengan dibumbui dumelan dan kekesalan (hheee, bagian mana yang ngalah kalau begitu?). Eh, tapi ga juga deng. Kalau gue lagi “waras”, gue ngalah tanpa perlawanan. Bahkan ikutan nonton J.
Senin, 18 Juli 2011
Minggu, 17 Juli 2011
Diantara Dua Pilihan
Waduuuh…Ini kok udah kayak judul lagu sama judul film, ya…? Buat yang nge-klik tulisan ini dan berharap akan membaca sebuah tulisan berbau romantis bak sinetron Indonesia… he, maaf ye, om tante ncang ncing nyak babeh saudara sebangsa dan setanah air, kalian sudah ketipu duluan dengan judul tulisan ini. Dan itu berarti gue sukses gila dalam membuat judul!
Jauh dari hati gue yang paling dalam, melalui tulisan ini sebenarnya gue mau mencurahkan segala kebimbangan selama hampir satu tahun ini menjadi pengguna setia MM 69 (terpaksa sih tepatnya L). Tiap malam, gue harus memilih diantara dua pilihan yang membikin hati ini gundah gulana kalau sampai salah pilih. *Ngegerutu dan caci maki, deng.
Sekali lagi, tolong jangan salah kira, ya. Gue bukan lagi bingung mikirin harus memilih antara ikhwan A atau ikhwan B, ikhwan yang tiap hari sholat malam atau yang tiap hari sholat dhuha, ikhwan yang sudah hafal 30 juz atau yang baru hafal juz 30, ikhwan yang lebih tua beberapa tahun atau yang sepantaran. Bukan, beneran deh, bukan..! He.
Faktanya, tiap malam gue bingung memilih antara harus naik MM 69 dari taman Melawai atau dari pintu terminal. Dua-duanya merupakan pilihan sulit, coba!
Bayangin, nih… Kalau gue naik dari depan pintu terminal, so pasti gue dapet duduk sampe Ciledug. Tapi masih ada kemungkinan ke-dua setelah gue naik itu bis. Yakni, apakah supirnya memutuskan akan belok ke arah CSW atau ke arah taman Melawai? Beruntung kalau supirnya memutuskan belok ke arah CSW. Motong jalur gituh. Udah dapet duduk, bisa tidur-tidur ayam sampe satu jaman, dan sampe rumah so pasti lebih cepat! Ibarat kata dapet ikhwan yang hafal 30 juz, rajin sholat malam dan dhuha tiap hari, dan bacaan Qurannya yahud punya. He, bener-bener ga ngaca!
Beda lagi kalau supirnya memutuskan untuk belok kanan melalui taman Melawai yang anehnya naujubillah! Gimana enggak, udah jelas-jelas itu jalanan umum, tapi berubah fungsi jadi terminal Blok M ke-dua. Makanya, jangan heran kalau terminal Blok M yang sesungguhnya sepi senyap oleh bis. Karena ya itu tadi… mereka pada berbaris rapi di sepanjang jalan depan taman Melawai. Kalau lagi parah, mungkin bisa sampe 300 meter kali, macetnya.
Yang paling anehnya lagi nih, di perempatan HSBC dan di pertigaan tempat ngetem angkot merah ke arah Cipete, itu biasanya ada beberapa Polisi, lho! Dan bukannya menertibkan bis yang pada ngetem, eh mereka malah bakal nilang-nilangin bis yang ngambil jalur arah sebaliknya demi terhindar dari macet. Aneh bin ajaib!
Nggak heran, kalau sudah tertahan setengah jam aja di depan taman Melawai, emosi para penumpang mendadak menyatu dalam satu ikatan: BENCI P****I! Sahut menyahut ejekan yang ditujukan kepada P****i tak kan lagi terelakkan.
Paling halus, penumpang bakal mengeluh dengan decakan seperti “Ckckck…, ah…, duuuh…,”. Ada juga yang masih lumayan bisa ngontrol emosi dengan sedikit pemakluman seperti “Yaaaa, gajinya kan kecil. Wajar aja kalau mereka nilang-nilangin. Kalau ga macet, mereka ga dapet duit, kaleee!”. Nah, yang paling kejem juga ada, banyak malah. Ga kenal laki ga kenal pere, “Dasar sialan tuh P****i!” dan semua kata hinaan terburuk lainnya untuk manusia (termasuk hewan-hewan menjijikkan dan kotoran manusia).
Kalau gue masuk yang mana, hayooo? Jawabannya: tergantung mood. Makanya untuk menghindari bad mood duluan di 1/9 perjalanan, gue usahakan tidur senyenyak-nyenyaknya. Biasanya sih, bangun-bangun udah sampai di Kebayoran atau Cipulir gituh. Nah, paling sial kalau udah dua kali bangun tapi masih di situ-situ juga. Pernah beberapa kali gue ngalamin kayak begitu. Then, you know lah gue masuk yang mana. Yep, sedikit demi sedikit gue jadi ikutan benci sama P****i!
Oiya, balik lagi deh… Kalau gue memilih naik bis dari taman Melawai langsung, yang pasti bakal terjadi ialah, gue bakalan sampai rumah lebih cepat dengan konsekuensi ga bakalan dapet duduk sampai komplek Unilever! Bener-bener bikin kaki gempor, dah. Pulang udah malem, “hujan” pengamen, besok berangkat pagi lagi (ha, bohong banget!), nyampe rumah kudu beres-beres n setrika baju pula! Tepar benget nget nget!
Nah, percaya kan sulitnya berada diantara dua pilihan dalam melakoni hidup sebagai penumpang setia MM 69? Emang ga seberat memilih diantara dua pilihan ikhwan (he, kayak pernah aja!), tapi kalau salah pilih, akan berakibat fatal pada kesehatan kaki, hati, dan energi! Ya, salam…
*kecepekan pulang kerja
*gambar: seranggahijau.blogspot.com
Kamis, 14 Juli 2011
BBB (Bukan B*******i Biasa)
BBB… apaan tuh? Bukan Bintang Biasa, kah? Bukan!
Atau jangan-jangan... Bukan Blackberry biasa? Ah, bukan juga!
Ini lebih dari sekedar Rafi Ahmad dkk atau Blacekberry, tapi ini tentang Bumenteri yang BBB a.k.a. Bukan Bumenteri Biasa! Cerita gue tentang pengalaman pertama bertandang ke rumah salah satu ibu pejabat RI, beberapa hari yang lalu. Hheee.
***
Baju merk d’sava orange polos dipadu padan dengan jilbab paris (orange juga) sedikit sulam benang di bagian belakang dan rok coklat bergaris, sebenarnya nggak jelek-jelek amat. Walaupun tuh baju agak lecek lantaran susah banget disetrikanya, lumayan pantes deh buat “main-main” dalam sebuah acara santunan di rumah dinas pejabat tinggi Negara di bilangan Gatsu, Jakarta. Langsung disebut deh nama pejabatnya, biar ga ada dusta diantara kita. *Hheee, apa sih?* Tifatul Sembiring, Menkominfo.
FYI: ini adalah acara santunan yang diadakan oleh Bumenteri, Hijabers Community, dan butik Mosaict, dalam rangka tarhib ramadhan.
Namanya juga acara di kediaman pejabat, yang ada di benak gue sejak mendapat tugas untuk “main-main” ke rumah beliau adalah: acara diadakan dalam sebuah tenda besar, banyak bangku berjejer rapi untuk para hadirin, acara resmi dengan rangkaian protokoler yang ribetnya alaihimgambreng, dan diliput berbagai stasiun teve juga media-media papan atas semisal majalah Ummi dan majalah online Annida. *suit-suit*. Makanya gue pede mampus mengenakan pakaian yang tadi udah gue sebutin bagaimana rupanya. Pokoknya niat gue, nanti gue bakal ambil posisi paling belakang biar bapak dan ibu pejabat ga ada yang ngeh sama penampilan gue.
Tapi eh tapi, ternyata oh ternyata, kenyataan justru berbeda jauuuh banget dari bayangan! Nggak ada tenda, bangku-bangku, mobil-mobil media, apalagi petugas protokoler. Malahan gue disambut dengan satu bis Hiba Utama tanpa AC berukuran sedang dan sandal-sendal butut ukuran anak-anak yang berjejer berantakan di depan teras rumah. Dari sandal-sendal ini gue berhipotesis kalau acara diadakan di sebuah aula besar di dalam rumah.
Namun nyatanya, lagi-lagi hipotesis gue meleset jauh! Dalam sebuah ruangan nggak gede-gede amat dengan cat putih elegan dan dialasi karpet coklat bermotif, acara santunan diadakan. Baik tuan rumah, empunya hajat, maupun mereka yang diundang dalam santunan ini duduk sejajar alias lesehan!
Setelah memperkenalkan diri, oleh salah satu panitia, gue pun dipersilakan duduk di deretan Bumenteri Menkominfo, Sri Rahayu Sembiring. Persis di sampingnya! Cuma berjarak 10 sentimeter. Perasaan gue waktu itu, awalnya agak mokal. Saltum banget! Duduk di samping ibu pejabat, pakaian lecek begini! Mana dua wanita yang duduk deket Bumenteri pakaiannya rapi-rapi jali, lagi! Untung pakaian beliau juga lumayan sederhana—Cuma gamis dan bergo abu-abu terang yang nyantai punya. Alhamdulillah, sedikit luntur dah mokal gue.
Nah, ini dia nih inti ceritanya… Gue bakal cerita bagaimana pertemuan gue selama kurang lebih satu jam dengan Bumenteri yang akhirnya gue berani kasih beliau julukan BBB!
Duduk di Samping BBB
Setelah bersalaman dan memperkenalkan diri, gue mengambil posisi agak mundur sedikit dari posisi duduk beliau. Tepatnya di belakang karpet yang udah disediakan. Alasan gue waktu itu bukan karena malu gegara saltum atau menghormati beliau berlebihan atau ngerasa ga pantes duduk bersamping-sampingan dengan beliau, bukan… Ini lebih kepada cuaca Jakarta yang cukup menyengat siang itu hingga mempengaruhi kadar keringat yang gue hasilkan. Apalagi untuk menuju ke rumah beliau, gue harus olah kaki mengitari separo gedung Plaza Semanggi (Pelangi) untuk transit dari halte busway Benhil 1 ke Benhil 2 dan berjalan lagi selama 15 menit lebih dari halte LIPI Gatsu ke rumah beliau. Bener-bener pol mompa keringat gue! *Hosh-hosh*
Maksud hati mau kipas-kipasan sebentar mendinginkan badan. Tarraaa… guess what? Beliau malah negur gue! “Kok duduk di luar karpet? Ntar masuk angin, lho… Sini-sini, naik ke atas karpet sini,” sapanya ramah.
Dalam hati, gue terharu sangat mendengar ucapannya barusan. Ini Ibu tau aja dah, sejak SMP, musuh nomor wahid gue emang angin! Si Mamak mengamini kalau nih badan sensitif banget sama angin. Jangankan tidur-tiduran ayam di atas lantai langsung, duduk-duduk ga nyampe dua jaman aja di atas lantai tak beralas, kayaknya perut udah full sama angin gimanaaa gituh. Nggak kukuuuw, deh!
Diskusi Ringan Dengan BBB
Nggak seberapa lama gue nempelin badan di atas karpet, Bumenteri diminta memberi ceramah untuk anak-anak yang datang jauh-jauh dari TPA Al-Furqan. Katanya sih letak TPA itu di Bekasi paling ujung yang butuh waktu 6 jam untuk sampai ke rumah si Ibu. Beliau pun maju ke hadapan anak-anak undangan dengan posisi sama—duduk lesehan dengan yang lain, maksudnya.
Di depan anak-anak, ia menolak memberi ceramah dan meminta panitia untuk berdiskusi santai saja dengan anak-anak. Kalimat pertama yang meluncur dari bibirnya ga bakal gue lupain. Beliau mengoreksi salah satu statement MC yang mengatakan kalau rumah itu adalah rumah Bumenteri.
“Sebelumnya, saya mau meralat perkataan MC. Ini bukan rumah saya ya, Adek-adek. Ini adalah rumah dinas, rumah negara. Rumah siapa? Nega…?”
“raaa…,” anak-anak undangan melanjutkan beriringan.
“Pinter!” lanjutnya lagi.
Hi, sekali lagi gue dibuat terkejut-kejut oleh “ulah” beliau. Ini ibu, rendah hati amat. Segala rumah aja dipermasalahin. Padahal mah, gue haqqul yakin para hadirin ga ada yang ngeh dengan ucapaan si MC tadi.
Lanjut lagi, Bumenteri pun memulai diskusi santai itu. Bener-bener santai, karena isi pembicaraan beliau hanya menyambung-nyambung apa yang bisa disambung (tali, kaleee!). Misal, dia memulai dengan memperkenalkan sahabat Rasul yang bernama Zubair. Pemilihan Zubair sebagai tema pertama juga beralasan, yakni sama dengan nama salah satu anak-anak undangan yang saat gue datang dia sedang membacakan sebuah hadits beserta artinya (tanpa teks atau contekan, coba!).
Dari situ, pembicaraan beliau beralih lagi ke pengalamannya bersua dengan salah satu anak korban tsunami Aceh. Ini juga beralasan, karena ada salah satu ibu-ibu yang menyebut kata tsunami selama dia bicara. Diceritakanlah bagaimana nasib tuh anak yang kini sukses menjuarai olimpiade sains tingkat internasional di Harvard University. Intinya, si Ibu mau memberikan motivasi akan pentingnya semangat belajar dan memiliki cita-cita tinggi kepada audiens-nya.
Beberapa anak diminta maju dan menyebutkan cita-cita mereka yang yah... rata-rata cuma mau jadi guru setelah gedenya. Bukan gue ngeremehin profesi guru, lho. Tapi kok, ga ada yang berani bermimpi lebih besar lagi selain guru, ya? Bahkan ada salah satu anak berbadan bongsor yang ngakunya udah SMP, tapi masih belum kebayang apa cita-citanya kelak. Untungnya, ada sih, satu anak yang lagi-lagi si Zubair. Cuma dia yang bercita-cita lumayan tinggi. Mau jadi professor di bidang mesin, katanya.
Awalnya, Bumenteri mengomentari, “kok, pada kompakan mau jadi guru, ya?” Tapi setelah mendengar jawaban Zubair, beliau pun senang dibuatnya. Dia bilang,
“Wah, hebat. Nanti Profesor Zubair tolong buatin ya, mesin pesawat yang bisa mengelilingi dunia tanpa perlu transit untuk ngisi bahan bakar. Biar hemat bahan bakar, gituh. Nah, nanti kita jalan-jalan deh ke Harvard. Tau ga di mana Harvard? Hheee, meneketehe…,” begitu deh kurang lebih caranya beliau berbicara dengan anak-anak undangan. Sumpah, ngerakyat buanget bahasanya!
Terakhir, ketika beliau mau bilang kalau tujuan tertinggi seorang muslim adalah ridho Allah dan surga-Nya, muncul satu kejadian yang ga diundang.
“Jadi, kita harus berprestasi ya, Adek-adek. Harus berani untuk punya cita-cita tinggi yang Allah suka. Karena tujuan hidup kita kan buat mendapat ridho Allah dan surga-Nya, ya… Oiya, surga itu adanya di mana, deh?” tanyanya.
“Di bawah telapak kaki Ibu…,” serentak mereka memberikan jawaban yang lumayan bikin ngakak Bumenteri, gue dan dua wanita cantik yang duduk sejejer dengan gue. Ini anak-anak polos banget, ye! Hheee.
***
Acara pun diakhiri dengan pembagian santunan berupa peralatan sekolah dan sembako. Setelah Bumenteri duduk ke posisinya semula, beliau pun memanggil sekretarisnya, Mba Shinta, yang duduk dekat gue juga. Ia pun mengajak Mba Shinta dan gue mendiskusikan kondisi anak-anak undangan.
“Yang paling penting buat mereka sekarang adalah pembangunan mentalnya. Mental yang berkarakter,” ia memulai pembicaraan.
Berhubung gue diajak ikutan berdiskusi. Gue pun gatel untuk ga menimpali, “Bener banget, Bu. Sedih banget deh, masa udah segede itu masih ada yang belum punya cita-cita, ya?” ihiy, kapan lagi bincang bareng Bumenteri.
“Iya, Bu,” Mba Shinta yang emang lumayan sibuk ngontrol jalannya acara cuma menanggapi sedikit sambil ngangguk-nggangguk.
***
Setelah ngobrol-ngobrol dengan panitia, gue pun izin pamit ke Bumenteri. Fyuuuh, kaget lagi gue pas salaman dengan doi--kali ini gue udah lumayan pede salam pake cipika-cipiki. Masa dia bilang begini, “Terima kasih banyak ya, Mbak Nur, atas kunjungannya. Mudah-mudahan kita bisa ketemu lagi,” katanya dengan senyum hangat sambil menjabat terus tangan gue.
Hiyaaa, tersanjung jung jung dibilang gitu sama Bumenteri! Masa dia terima kasih sama gue? Gue kan Cuma ngejalanin tugas dari kantor buat “main-main” ke rumah beliau! Huwiii, keren abis dah nih, Bumenteri.
Eh, atau semua ibu pejabat ramah-ramah kayak beliau, ya? Guenya aja kali yang norak bin geer baru pertama kali ketemu dengan ibu pejabat? Ah, nggak peduli… kesimpulan gue, ini ibu emang BBB banget, dah! Ga sia-sia perjalanan panjang dan melelahkan gue menyambangi rumah beliau sambil berpanas-panas ria. Hhaaa, lebay!
Senin, 11 Juli 2011
Duka Saudara Sepersusuan
Hey, kau tahu sahabat terbaik dari kesedihan? Menurutku, jawaban paling tepat ialah kesendirian. Makanya aku selalu menghindarinya dan mengusirnya dengan kebisingan dunia agar keduanya tak pernah bersahabat baik, untuk saat ini. Baru satu setengah hari dia pergi meninggalkan aku dan kami sekeluarga untuk selamanya, air mata ini seakan tak pernah berhenti menganak sungai. Apalagi ketika kesendirian melanda, kesedihan akan kenyataan telah ditinggal olehnya selalu semakin menjadi-jadi. Seperti yang kualami tadi di dalam bis, ketika tidak sengaja kulihat dua foto cantiknya di Corby-ku. Seperti ada yang mengomandoi, air mataku menderas sepanjang Blok M-Kreo.
***
Ini cerita tentang aku dan dia. Aku melakoni diri sebagai Tante, dan dia Keponakannya. Usia kami hanya terpaut bulan. Dia delapan bulan lebih dulu mengenal gemerlap dunia daripada aku. Seperti yang dituturkan Mamak, kami berdua sempat menjadi saudara sepersusuan walau hanya satu bulan lebih. Mungkin ini yang membuat hubungan kami tidak seperti hubungan antara tante dan keponakan pada umumnya. Justru hubungan kami lebih seperti sahabat, bukan-bukan… mungkin tepatnya adik dan kakak.
Sejak kecil, secara fisik kami pun tak jauh beda. TInggi rata-rata (seukuran Frodo Bagins mungkin), rambut lebih sering dipotong pendek seleher (aku menyebutnya potongan helm), baju-baju kami kebanyakan berupa kaos-celana. Baju lebaran kami sejenis bentuknya hanya berbeda warna. Ketika sedang inn model baju bersablon gambar caem aktor China di bagian dada, kami pun memakainya di waktu yang sama. Pun ketika sedang inn kaos bergambar Power Rangers, celana jins seatas lutut, baju seksi Si Manis Jembatan Ancol, dan topi kupluk warna-warni, kami selalu memakainya di waktu yang bersamaan.
Entah sejak usia berapa, kami saling memberi julukan saking seringnya bermain dan berkompetisi bersama. Ia memanggilku dengan sebutan Tufa alias Tukang Pamer, karena kebiasaanku memamerkan semua barang-barang yang kupunya. Sedangkan ia, kupanggil dengan sebutan Irian karena sifat irinya yang tak kepalang tanggung. Namun setelah beranjak besar, aku memanggilnya dengan sebutan kesayangan Pity, dan dia sperti keponakan lainnya, memanggilku dengan Cinu’ (bahasa Betawi singkat dari Cing Nur).
Masa-masa di bangku sekolah dasar, tepatnya ketika beberapa tahun aku diungsikan Mamak di rumah Kakak (Mamanya), kuingat menjadi masa-masa awal kedekatan kami. Bersama dengan satu teman dekat, satu kakak dan satu adiknya, kami bermain congklak, karet, bekel, sepeda, roller blade, dan mandi hujan bersama. Satu hal yang paling kuingat darinya, diantara kami, dialah yang paling lama mampu mengendarai sepeda roda dua. Ketika aku telah mahir bersepeda roda dua sejak kelas dua SD, di kelas lima dia masih tertatih-tatih belajar mengendarainya.
Pernah juga waktu dia kelas lima dan aku kelas empat, aku yang saat itu sekolah di madrasah, mengikuti kegiatan pesantren kilat di sekolahnya. Di kegiatan itu, ia kesemsem dengan salah satu peserta laki-laki bernama Muhammad Yuri yang beberapa tahun setelah itu aku temukan lagi jejaknya di SMA-ku dan di kampus dalam kampusku (PNJ). Ketika dia menginap di rumahku, aku pun menceritakan tiga kali pertemuanku dengan Yuri yang telah tumbuh menjadi aktivis rohis dan aktivis BEM kampus. Kondisinya pun berbalik, kini aku yang gantian kesemsem dengan Yuri. Sampai-sampai berani aku katakan padanya,
“Mudah-mudahan dia jodoh Cinu’!” katakumenggebu-gebu. Dia pun meledeki aku habis-habisan saking ngarep berlebihan malam itu.
***
“Keretakan” hubungan kami terjadi ketika dia menginjak bangku SMP. Di sekolah barunya, ia mulai menemukan teman-teman yang kemudian mereka mendirikan sebuah genk cukup tersohor di sana. Dia mulai membandel. Saking cinta mati dengan warna merah, dia pun dengan bangga menghiasi rapor-nya dengan angka merah. “Yah, orang udah cinta mati sama warna merah, mau diapain lagi?” candanya.
Kemudian, hubungan kami diperparah dengan terjadinya kebakaran yang menimpa dua rumahnya. Ketika itu dia sudah duduk di bangku SMA, sedangkan aku masih di bangku SMP kelas tiga. Aku dipulangkan ke rumah Mamak di Tangerang, dia pun semakin asik dengan dunia remajanya.
Sempat beberapa lama (kalau nggak salah sampai kuliahku di semester awal), kami hanya dipertemukan oleh momen buka puasa bersama keluarga dan hari raya lebaran. Aku benar-benar sudah tidak nyambung dengan dunia pergaulannya, mungkin dia pun juga begitu terhadapku.
Tapi untungnya, semakin mendekati masa akhir kuliahku, dia semakin rajin menyambangi rumahku walaupun seringnya baru datang menjelang malam dan akan tidur sampai waktu dhuha mau habis. Malamnya hingga larut atau siangnya sambil makan bersama, biasanya kami curhat-curhatan dengan berbagai macam tema sampai sama-sama puas (oiya, diantara saudara-saudaranya, dia ini yang paling gampang makannya. Nggak pilih-pilih. Makanya dia suka banget kalau aku masak ikan peda’ dicampur jagung dan pete, juga nasi nyanyah buat sarapan ^^).
Di sini lakonnya tentu akulah pendengar sejati, dan dialah pembicara sejati. Dia akan menceritakan banyak tentang pacarnya, teman-temannya yang tak pernah kuketahui bentuk dan rupanya, pergaulannya, pakaian dan kosmetik yang baru dibelinya, dllsb. Sedangkan aku hanya mengangguk-angguk memberikan perhatian penuh pada cerita-ceritanya dan sesekali memberikan opini jika dimintanya. Yang penting tekadku ingin membangun kembali persahabatan kami berdua seperti dulu!
***
Akhir 2010 sepertinya menjadi tahun segar perubahan dalam dirinya. Perlahan, ia mulai mengganti pakaian-pakaiannya dengan yang lebih tertutup. Bahkan, ia sudah mau mengenakan jilbab sebagai pakaian kuliahnya. Yah, walaupun hidayah itu datang bukan melalaui lisan dan tanganku, tapi aku senang ketika dia menceritakan dengan bangga perihal pakaian barunya (walaupun hanya dikenakan ketika pergi ke kampus).
Hingga lama kelamaan, ketika perlahan tubuhnya mulai melemah oleh berbagai penyakit yang bertubi-tubi menghampirinya, ia pun bertekad terus mengenakan jilbab untuk di luar rumah. Ia juga semakin rajin mengikuti pengajian dengan salah seorang Habib di sekitar Bogor bersama Mamanya. Aku salut dengan perubahannya. Kemampuan bersholawatnya, semangat mengamalkan ilmu yang didapat dari pengajiannya, semangat untuk membaca dan mengkhatamkan Qurannya (selama sakit, ia telah berhasil mengkhatamkan Quran satu kali), seolah menyentil diriku yang telah lebih dulu memasuki dunia ngaji mengaji namun masih suka malas-malasan dan kurang serius.
Untuk menghiburnya, aku pun berjanji membelikan sebuah jilbab Paris manik-manik berwarna hitam pilihannya. Aku juga memberi sebuah manset orange baru kesayanganku ketika satu kali dia datang dengan gomis putih khas para jamaah wanita pengajian Habib-habib. Ia menyukai dan membutuhkannya, katanya. Dan aku, semakin suka dengan pakaian barunya!
***
Malam -1 Menjelang 28 Mei 2011
Hari itu hari gajianku. Aku bertekad mengunjunginya yang baru saja keluar dari rumah sakit untuk ke-tiga kalinya dalam beberapa bulan ini. Dia sangat senang dengan kehadiranku dan Roti Papabunz kesukaannya yang kubawakan. Walau hanya satu setengah jam, seperti biasa kalau sedang bersama, kami pun saling berbagi cerita. Bedanya, sambil kuelus-elus tangan dan kakinya yang kena pengaruh obat-obatan, kala itu kami lebih banyak bercerita tentang kondisi penyakitnya yang kian parah. Ah, aku tak tega menceritakan kepada kalian bagaimana kondisi badannya yang semakin habis!
Tak berapa lama, adiknya datang dengan membawa Harvest mini bertuliskan nama dan usianya. AKu ingat, beberapa jam lagi dia akan memasuki usia ke-24! Tapi dia sempat marah-marah karena kesalahan angka pada kue ulang tahun itu. Setelah berhasil mengeruk angka 23 di atas kue ulang tahunnya, dia pun memintaku menginap di rumah Papahnya untuk menemaninya merayakan ulang tahun. Dan kau tahu jawabanku?
Hingga tulisan ini dibuat, air mataku terus meleleh jika mengingat-ingat PENOLAKAN yang kuutarakan padanya. Kuakatakan kalau aku harus menemani Mamak yang memang sudah bed rest karena stroke di rumah. Padahal, dari hati yang paling dalam, aku tak mau meninggalkan dua pengajian Sabtuku! Sebagai gantinya, dia menahanku hingga pukul sepuluh malam di kamarnya untuk menemaninya mengobrol.
***
27 Rajab 1432 Hijriah
Sore itu aku berencana menghadiri pesta sunatan sepupu dari Babeh. Namun, sore itu juga kakak menelpon untuk menjenguk anaknya yang kembali harus masuk ke rumah sakit untuk ke-empat kalinya.
Lagi-lagi aku menyesal tak menjenguknya dari kemarin-kemarin dengan alasan belum gajian. Sedih, kondisinya telah berbeda jauh dari sebulan lalu ketika aku menjenguk di rumah Papanya. Ia sedang tertidur pulas saat aku sampai, namun setelah kutunaikan sholat Maghrib di musholla, dia pun bangun dan menangis sedih melihat kedatanganku. Bibirnya sudah pelo. Kata-katanya sudah tidak lagi terdengar dengan jelas. Ketika aku membacakan Yasin untuknya, dia pun menggenggam tanganku dan menangis lagi meminta doa yang terbaik padaku. Hatiku sedikit tak karuan saat harus berpisah pulang dengannya.
***
Senin, 4 Juli 2011
Sore ini, selepas kerja, kuniatkan untuk menjenguknya kembali di RSCM. Namun dalam perjalanan menuju kantor, kakak menelponku untuk datang pagi itu juga ke rumah sakit. Aku pun sms izin datang telat ke kantor dan langsung meluncur ke rumah sakit.
Di gerbang RSCM, aku bertemu dengan keponakan yang lain (adiknya Pity). Matanya merah sembab karena menangis sepanjang perjalanan.
Sesampainya di kamar, air mata kami berdua tak terbendung lagi melihat kondisinya yang telah sangat berbada dari terakhir aku menjenguknya. Nafasnya sudah dengan alat bantuan. Dia sudah koma. Lagi-lagi aku menyesal karena weekend kemarin tidak menyempatkan diri untuk menjenguknya. Aku hanya mendengar dari kakak kalau kondisinya semakin memburuk.
Tak kuasa, kuambil air wudhu dan segera membacakan surat Yasin untuknya. Kuminta pada Allah untuk tidak mencabut nyawanya sebelum kubacakan surat Yasin sebanyak tiga kali. Dan permintaanku terwujud! Ke-empat kalinya, seorang dokter ganteng datang untuk memindahkannya ke ruang ICU. Tak kupedulikan, kubaca terus Yasin di sisinya walaupun dengan sesenggukan.
Ketika dokter memberikan lagi semacam alat pernafasan bantuan tambahan, tak sampai lima menit alat itu “dimainkan”, dokter menyerah. “Maaf, ia sudah nggak bisa ditolong,” katanya. Seketika tangis kami semua yang menjenguknya, pecah! Tak kuasa lagi kulanjutkan baca Yasinku untuk yang ke-lima kalinya. Untung kakak mengingatkan kami untuk tidak menangisinya. “Terus bacain Yasin. Jangan nangis!”, kulanjutkan lagi bacaanku sambil memegang tangannya yang mulai mendingin.
Lelet, butuh waktu tiga setengah jam lebih sedikit untuk menuju proses memandikan jenazah. Selama itu pula aku tak putus-putus membacakan Yasin untuknya. Kuharap, bacaanku yang berulang-ulang dapat menebus ketidak pedulianku selama ini padanya.
Setengah tiga tepat, aku mengantarkan jenazahnya yang dibawa ke ruang kamar mandi mayat. Kakak memintaku untuk terus mendampinginya dengan bacaan surat Yasin dan Al-Mulk. Air mata tak mau berhenti keluar beriringan dengan bacaan ayat-ayat Quran sepanjang proses dimandikan dan dikafani. Mungkin sudah 20 kali aku mengulang-ngulang bacaan Yasin di sampingnya.
***
5.15 WIB, Pemakaman Jeruk Purut
Dari rumah sakit, jenazah dibawa sebentar dengan mobil ambulance ke rumah kakak. Untuk menunjukkan kepada keluarga dan teman-temannya yang sudah menunggu lama di rumah. Hanya lima menit, kemudian langsung dibawa lagi untuk disholatkan dan dimakamkan di pemakaman Jeruk Purut. Dengan diboncengi motor oleh kakak, aku pergi menuju pemakaman mengiringinya ke tempat peristirahatan terakhir.
Sesampainya di sana, aku mengambil posisi paling depan di samping lubang bagian kaki jenazah. Tak henti-hentinya pipi ini banjir air mata sepanjang prosesi pemakaman. Penghiburku saat itu cuma satu, yakni banyaknya teman Pity yang mengantarnya sampai ke pemakaman. Semua menangis sedih dengan kepergiannya.
Terakhir, ketika jenazah sudah tertutup sempurna oleh tanah, sebagai penebus ketidakpadulianku padanya selama ini, kubaca lagi berulang-ulang surat Al-Mulk untuknya. Kuharap, Allah berkenan melimpahkan kasih sayang-Nya pada keponakanku, meringankan siksa kuburnya dan menerangi kuburnya dengan sebaik-baik penerangan. Aamiin.
Tidak akan kutemukan lagi keponakan yang keibuan seperti dia, tingkah manjanya, banyolan-banyolannya, curhat-curhat panjangnya, foto-foto dengan ekspresi imutnya, dan ucapan selamat ulang tahun yang hampir tiap tahun ia berikan kepadaku dengan tepat waktu. Selamat jalan, Keponakanku! Semua kebaikanku padamu tak akan pernah satu pun yang kan kulupa. Baik-baik di alam sana, ya Piiit…
Selasa menjelang Rabu, 5-6 Juli 2011
Mengenang keponakan sepersusuan, Cut Fitria Damayanti
Ditulis dengan cucuran air mata dari awal sampai akhir